Oleh: La Rossa El Salsabila
Mahasiswa Teknik Lingkungan UIN Walisongo Semarang
(Artikel ini telah publis pada Jogjojateng tanggal 5 Juni 2024.
KOTA Semarang merupakan Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah yang memiliki luas 373,78 km2. Dengan populasi lebih dari 2 juta jiwa, Semarang menjadi salah satu kota terpadat di Indonesia. Kepadatan penduduk ini membawa berbagai konsekuensi, salah satunya adalah kebutuhan akan transportasi yang layak dan efisien.
Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah memiliki korelasi yang kuat dengan penurunan kualitas udara. Salah satu dampak utama kepadatan penduduk yang paling dirasakan langsung adalah meningkatnya emisi polutan. Semakin banyak manusia, maka semakin banyak pula aktivitas yang menghasilkan polusi udara. Di daerah perkotaan yang padat, penggunaan kendaraan bermotor dalam jumlah besar menjadi penyumbang utama emisi berbahaya seperti nitrogen oksida, karbon monoksida, dan partikulat halus (PM2.5). Peningkatan aktivitas industri dan pembakaran sampah untuk keperluan rumah tangga turut memperparah polusi udara.
Selain itu, kepadatan penduduk juga menyebabkan berkurangnya ruang terbuka hijau. Pohon dan tanaman berfungsi sebagai filter alami yang menyerap polutan dan menghasilkan oksigen. Ketika ruang terbuka hijau berkurang akibat pembangunan pemukiman dan infrastruktur, kemampuan alami untuk membersihkan udara ikut menurun. Untuk mengatasi permasalahan ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif.
Padatnya jumlah penduduk dan banyaknya aktivitas transportasi di Kota Semarang perlu menjadi perhatian serius bagi pemerintah. Agar tidak memperparah polusi udara, pemerintah perlu mendorong penggunaan transportasi umum yang ramah lingkungan, seperti bus angkutan umum ataupun kereta api. Investasi pada infrastruktur pendukung seperti jalur khusus dan integrasi antar moda transportasi dapat meningkatkan minat masyarakat untuk beralih dari kendaraan pribadi.
Sustainable Development Goal (SDGs) No. 11 tentang Kota dan Permukiman yang Inklusif, Aman, Tahan Lama dan Berkelanjutan erat kaitannya dengan terwujudnya transportasi ramah lingkungan. Salah satu target SDGs No. 11 adalah untuk “meningkatkan akses ke sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua, dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus, dan meningkatkan kualitas keselamatan jalan”. Transportasi ramah lingkungan menjadi salah satu kunci pencapaian target tersebut.
Penggunaan kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi gas buang, seperti bensin dan solar, merupakan salah satu penyumbang utama polusi udara di perkotaan. Gas buang ini dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan dan lingkungan, seperti perubahan iklim, hujan asam, dan kerusakan ekosistem.
Menurut Kadir (2006), transportasi sangat penting dan berfungsi sebagai jantung kehidupan dan perkembangan ekonomi, sosial, politik, dan mobilitas penduduk. Transportasi tumbuh seiring dengan perkembangan serta berbagai bidang dan sektor lainnya. Pengembangan transportasi memiliki peran yang sangat penting dalam mendorong dan mendorong proses pembangunan.
Untuk memudahkan masyarakat melakukan kegiatan sehari-hari, ada banyak pilihan transportasi di Kota Semarang. Jenis transportasi ini terdiri dari mobil dan motor pribadi, angkutan kota, bus, mini bus, becak, taksi, dan ojek. Mereka memiliki jalan yang diaspal dengan baik, halte untuk bus BRT (bus rapid transit), penerangan, jalur pedestrian yang memisahkan jalur kendaraan dengan pejalan kaki, dan fasilitas lainnya. Selain itu, pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan layanan transportasi perkotaan dengan menyediakan BRT atau Bis Trans Semarang, yang saat ini memiliki empat koridor dan memiliki rencana untuk membangun dua koridor tambahan.
Jenis transportasi yang berada disemarang ini sudah cukup beragam untuk mendukung masyarakat melakukan kegiatan sehari hari yang mereka lakukan dengan BRT. Keberadaan jenis moda ini sudah didukung dengan kelengkapan prasarana yang cukup baik seperti jalan yang sudah diaspal dengan baik, halte untuk menunggu bus BRT, penerangan jalan, adanya jalur pedestrian yang membagi antara jalur kendaraan dengan pejalan kaki, dan prasarana lainnya.
Namun siapa sangka, pengoperasian BRT juga salah satu penyumbang polusi udara karna keluarnya asap hitam yang dihasilkan BRT sendirinya. Sama sama kita ketahui bahwasanya asap kendaraan mengandung zat berbahaya yang dapat mencemari udara. Karbon monoksida, misalnya, adalah gas beracun yang dapat menghambat kemampuan darah untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh. Nitrogen dioksida juga merupakan gas berbahaya yang dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan. Selain itu, partikel halus yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dapat masuk ke paru-paru dan menyebabkan gangguan pernapasan serta berbagai penyakit.
Hal ini terjadi dikarenakan BRT yang masih menggunakan bahan bakar solar. Tetapi selain penggunaan solar BRT juga menggunakan BBG yaitu teknologi koverter dari toyama gas karbon. Teknologi konverter dengan sistem retrofit yang digunakan yaitu 70 persen gas dan 30 persen solar. Kedua bahan bakar itu tetap bisa digunakan, namun solar digunakan cadangan. Ujicoba sudah dilakukan pada 23 Juli 2017 lalu dengan jarak tempuh 16,5 kilometer.
Perencanaan serta pembangunan masih diupayakan pemerintah dan perlu dorongan dari masyarakat sekitar demi terwujudnya kondisi yang lebih baik di masa yang akan datang. Upaya terwujudnya SDGs melalui moda transportasi di Semarang yakni terwujudnya pelayanan transportasi massal yang efektif dan efisien, melalui ketersediaan angkutan umum yang melayani wilayah tersebut. Terwujudnya transportasi ramah lingkungan tidak hanya akan membantu mencapai SDGs No. 11, tetapi juga akan membawa berbagai manfaat lainnya, seperti udara yang lebih bersih, kesehatan masyarakat yang lebih baik, dan lingkungan yang lebih berkelanjutan. (*)